Rabu, 11 Januari 2012

Budaya Kusayang Kini Hampir Punah


5 Budaya Tradisional Indonesia yang hampir punah

poiler for kain tenun sakral

Kain tenun yang tersebar di seluruh Indonesia memang belum jelas diketahui asal-usulnya. Seperti dari mana atau siapa pembawanya. Diperkirakan seni menenun telah ada sejak masa prasejarah (neolitikum), jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Yang jelas, di Indonesia sendiri seni menenun telah banyak tampak dalam relief-relief candi, prasasti-prasasti bersejarah, ataupun legenda-legenda dan kisah rakyat populer.

Berkenalan lebih jauh tentang kain tenun tradisional, aku pun jadi tahu bahwa pembuatannya tidak sesederhana yang aku pikirkan. Para penenun harus memiliki ketelatenan, ketelitian, dan dedikasi yang tinggi untuk dapat menciptakan selembar kain yang indah. Dan hasilnya? Ada kain songket, lurik, hingga kain tenun ikat dan ikat ganda yang pembuatannya memiliki kerumitan tingkat tinggi.

Hm… sampai sekarang pun aku belum bisa percaya bagaimana seorang penenun bisa setelaten itu untuk menciptakan selembar kain tenun ikat ganda.

Tapi memang begitulah. Kain tenun ikat ganda Pagringsingan dari Bali, contohnya. Satu lembarnya membutuhkan waktu pengerjaan hingga bertahun-tahun. Mencapai sepuluh tahun, katanya. Hanya untuk menciptakan selembar kain tenun. Tentu saja harganya pun melambung hingga ratusan juta.

Pembuatannya yang membutuhkan waktu panjang dan rumit memang membuat kain tenun tradisional ditinggalkan. Terutama di masa di mana kepraktisan dan keinstanan kadang didewakan. Belum lagi kekakuan motif dan kuatnya fungsi tradisional. Ini memang menjadi dilema dan kekhawatiran tersendiri.

Terlepas dari harganya yang mungkin mahal, kain tenun tradisional memang harus kembali dimasyarakatkan. Tidak hanya sekedar komoditas cindera mata, namun juga menyentuh fashion sehari-hari. Ini salah satu cara agar kesenian menenun dan hasil-hasil indahnya dapat terhindar dari kepunahan.


Spoiler for rumah bolon
 Pewarta-Indonesia, Bangunan Rumah Bolon pematang Purba ini bekas istana Raja, terdiri dari dua bagian. Bagian depaan disebut Lopou berukuran 12 m x 8,5 m. Dipakai tempat tinggal Raja dan tamu-tamunya. Bagian belakang dipakai untuk isterinya yang berjumlah 12 orang dan anak-anaknya. Rumah Bolon ini menghadap ke timur berdiri di atas umpak batu. Diatas umpak batu terdapat gelondongan kayu yang disusun secara horizontal. Jumlah gelondongan kayu 10 buah disebut halang/galang. Bagian dinding dihiasi motif sulepat (garis-garis siku saling berkaitan dikombinasi dengan hiasan bunga. Rumah ini tidak mempunyai jendela, tetapi dibuat berjeruji.

Terdapat pintu masuk dari depan dan belakang, akan tetapi tangga naiknya ada di bagian depan dengan tangga kayu dan terdapat pegangan yang terbuat dari rotan disebut Hotang Bulo.

Di tiang kiri dan kanan pintu masuk terdapat hiasan bohi-bohi (bentuk muka manusia yang menyeramkan). Di bagian dinding terdapat hiasan berupa cecak yang terbuat dari cat (dulu terbuat dari jalinan ijuk).


Spoiler for rumah khas karo
  Suku Karo masih bisa berbangga karena rumah tradisional siwaluh jabu yang dihuni 8 atau 12 kepala keluarga, masih dipertahankan di lima desa di kabupaten Karo. Tiga atau lima tahun lagi kebanggaan itu mungkin tak ada lagi, karena rumah buatan nenek moyang yang tinggal sekitar 30 unit lagi, bisa mengalami nasib seperti rumah tradisional suku Batak lain di Sumatera Utara yang hilang tak berbekas. Kebanggaan akan rumah tradisional itu karena dua hal: keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Keunikan teknik bangunannya: rumah berukuran minimal 10 x 30m (300 m2) itu dibangun tanpa paku dan ternyata mampu bertahan hingga 250 tahun lebih. Sedang keunikan nilai sosial-budayanya: kehidupan berkelompok dalam rumah besar yang dihuni 8 kepala keluarga (KK) atau sekitar 50 jiwa. Khusus di Desa Serdang Kecamatan Barusjahe malah ada rumah adat Karo yang dihuni 12 KK. Batas antara satu keluarga dengan yang lain ditandai tirai kain panjang.



Dari semua alat musik yang dimainkan kelompok musik tradisional-nya Bapak Ande, ada satu alat musik yang terlihat unik. Sasando namanya. Alat musik tradisional dari pulau Rote (Salah satu pulau sebelah selatan Pulau Timor). Alat musik inilah yang tadinya bersuara senar bervariasi itu.

Menurut Deny, satu dari lima anak Bapak Ande yang mahir bermain Sasando, memainkan Sasando tidak gampang. Harus terus berlatih. Karena Sasando mengutamakan Ritme dan feeling bunyi nada yang tepat dari 28 senar yang ada.

Sasando memang punya banyak senar. Sasando dengan 28 senar ini diistilahkan dengan Sasando engkel. Jenis lain; Sasando dobel namanya, punya 56 senar. Bahkan ada yang 84 senar. Cara memainkan Sasando dengan dipetik. Mirip dengan gitar. Hanya saja, Sasando tanpa chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip Harpa.
Spoiler for sasando


Spoiler for permainan tradisional anak sumbar

TIGA sekawan itukeasyikan bermainan 'bakiak'. 'Bakiak' adalah terompah deret dari papan bertali karet yang panjang. Sepasang 'bakiak' minimal memiliki tiga pasang sandal atau dimainkan tiga anak.


"Bakiak" sebenarnya permainan tradisional anak-anak di Sumatera Barat. Orang Minang kelahiran hingga pertengahan 1970-an biasa memainkannya dan ketika acara 17 Agustusan mengikuti perlombaan di desa atau kecamatan. Tapi anak-anak kelahiran setelah itu hampir tidak mengenal lagi, karena jarang digunakan.

1 komentar: